Pages

P.R.O.M.I.S.E



Ini adalah fanfic buatanku yang pertama. Secara garis besar, ceritanya tidak beda jauh dengan manga aslinya. Yang membedakan cuma nama tokoh utama perempuan yang diganti dengan namaku dan beberapa tambahan. Tadinya fanfic ini kuikutsertakan pada fanfic competition di salah satu forum, tapi tidak menang. After all, I love this fanfic and I really love Shaman King!

P.R.O.M.I.S.E

Prolog

Sore itu, angin bertiup dengan kencang, menerbangkan dedaunan yang berguguran di halaman. Sehelai daun momiji berwarna merah jatuh ke kolam, menimbulkan riak di permukaan air yang tenang. Aku mendesah. Udara yang dingin terasa menusuk tulang. Hari ini adalah hari terakhir di bulan November. Sebentar lagi musim gugur akan berganti dengan musim dingin.

Bagaimana gerangan kabarnya sekarang?

Aku mengkhawatirkan cuaca yang mulai dingin belakangan ini. Aku tahu kedengarannya konyol. Aku tidak perlu mencemaskan kondisi suamiku yang bodoh itu. Tapi, tetap saja, aku tidak bisa berhenti memikirkannya siang dan malam. Apa ia selalu makan dengan benar? Apa ia tidak lupa mengenakan mantel saat bepergian? Dia kan ceroboh! Jadi aku tidak heran kalau dia masuk angin karena tidak mengenakan pakaian yang cukup tebal. Lagi-lagi aku mendesah. Apa ia juga memikirkanku—seperti aku memikirkannya saat ini?

“Ibu…!” Suara Hana menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh, dan anak semata wayangku itu berlari ke arahku.

“Paman Ryu mana?” tanyaku yang heran melihat sosoknya sendirian. Biasanya ia selalu ditemani Ryu.

“Tadi Paman Ryu main denganku, tapi setelah itu dia bilang ada yang harus dikerjakannya, jadi dia pergi!” ujar Hana seraya menggerutu.

Aku menghela nafas. “Kau ini kerjaannya main terus! Lihat, bajumu sampai kotor begini!”

Hana cuma nyengir. Senyumannya mengingatkanku akan ayahnya. Saat tersenyum seperti itu, ia benar-benar mirip dengan Yoh.

Sepertinya percuma aku memarahinya, karena ia sangat suka bermain dengan Ryu tanpa kenal waktu. Si bodoh itu! Aku tidak tahu apa saja yang mereka lakukan seharian ini, tapi aku tidak akan memaafkannya kalau ia sampai mengajari Hana yang tidak-tidak.

“Ibu, ceritakan sesuatu dong!” pinta Hana.

“Cerita apa?”

“Apa, ya?” Ia tampak berpikir keras. Tiba-tiba saja wajahnya berubah cerah. Aku sudah bisa menebak apa yang ada di pikirannya sebelum ia mengatakannya. Sebenarnya kurang tepat kalau dibilang menebak, karena aku mempunyai kemampuan membaca pikiran. “Oh ya, aku mau dengar saat pertama kali Ayah dan Ibu bertemu…!” celetuknya penuh semangat.

Aku tersenyum. “Baiklah. Ayo duduk di sana sama Ibu,” kataku.

Dengan patuh Hana duduk di sebelahku, kemudian menyandarkan kepalanya ke dadaku. Aku menghela nafas dalam-dalam. Sambil membelai kepalanya, akupun mulai bercerita saat aku pertama kali bertemu dengan Yoh. Ingatanku melayang ke kejadian 20 tahun yang lalu.

Osorezan Revoir

Namaku Kyoyama Itsuka. Aku adalah seorang itako (orang yang memilki kemampuan untuk memanggil dan berkomunikasi dengan roh). Konon pada umumnya, yang dapat menjadi itako itu wanita buta. Karena pada zaman dahulu, hanya itu pekerjaan yang dapat dilakukan oleh wanita buta. Karena itu, tidak sedikit di antara mereka yang hanya mempelajari gaya itako tanpa memiliki kemampuan apapun. Aku yang tidak memiliki kerabat diangkat sebagai murid oleh Nyonya Kino, nenek Yoh. Sejak saat itu, aku tinggal di sebuah penginapan reyot yang dikelolanya. Berbeda dengan Nyonya Kino dan itako lain pada umumnya, aku tidak buta. Karena itulah, aku disebut sebagai itako asli dengan kekuatan yang hebat.

Aku tidak tahu apa kekuatan yang kumiliki bisa dikatakan sebagai kekuatan yang ‘hebat’. Sebenarnya aku sendiri masih meragukan kekuatan yang kumiliki. Pada saat itu, aku sangat membenci kekuatanku sendiri. Aku benci terlahir berbeda dari orang lain. Bagiku, kekuatan yang kumiliki adalah sebuah kutukan.

Karena itulah, aku menjadi orang yang tertutup dan sulit bergaul dengan orang lain. Selama bertahun-tahun lamanya, aku hidup dalam kesepian.

Saat pertama kali bertemu dengan Yoh, usiaku 10 tahun, sama dengan usia Hana saat ini. Aku yang disuruh oleh Nyonya Kino untuk membeli lilin bertemu dengannya yang tiba-tiba keluar dari kedai ramen. Ia keluar dengan tergesa-gesa sambil menjulurkan tangan—sepertinya hendak mengejar seseorang—sebelum berhenti saat berpapasan denganku.

Tubuhnya tidak lebih tinggi dariku. Rambut hitamnya dikuncir dan poninya yang dibelah tengah dibiarkan terjuntai membingkai kedua sisi wajahnya. Sebuah headphones berukuran besar tergantung di lehernya. Aku masih ingat betul bagaimana tampang bodohnya saat itu. Aku juga masih ingat kata-kata yang kuucapkan padanya pada pertemuan pertama kami.

Beraninya menghalangi jalanku. Mati kau!

Sejurus kemudian, ia langsung membeku di tempat. Tanpa memedulikannya, aku berjalan begitu saja meninggalkannya. Tapi tiba-tiba saja ia kemudian memanggilku.

Tu… tunggu!

Aku menoleh. Saat tatapannya bertemu denganku, ia terdiam. Sepertinya ia bisa merasakan aura gelap menekan yang ada di sekitarku lewat tatapan tajamku. Kalau sudah tahu begitu, seharusnya dia menjauhiku sejak awal. Tapi akibat dari sifat keras kepalanya itu baru datang belakangan.

Uh…” Yoh terbata-bata, tidak tahu harus berkata apa. Sebenarnya aku sudah tahu apa yang ada di pikirannya.

Jangan sok akrab. Awas kau,” kataku sebelum membalikkan badan. Tahu-tahu saja ia meminta maaf. Aku menghela nafas. “Huh… Benar-benar lelaki yang menyedihkan. Asakura Yoh. Ternyata dia calon suamiku.

***

Setelah kejadian itu, aku melihat sosoknya berlari menuju ke arah pantai. Aku bisa membaca apa yang ada di dalam pikirannya. Ia shock karena tahu-tahu saja aku memanggil namanya dan menyebutnya sebagai calon suamiku. Ia pasti merasa aneh karena tiba-tiba saja aku bilang “Mati kau.” Yoh mengira aku sudah mendengar ceritanya dari Nyonya Kino dan melihat fotonya. Tanpa diberitahu pun, aku bisa membaca pikiran Nyonya Kino yang berniat menjodohkanku dengan cucunya, putra keluarga Asakura. Aku juga tahu kalau ia akan datang bersama seseorang dari Aomori dan tiba hari ini. Tapi ternyata yang menemaninya bukan orang.

Dalam pikiran Yoh, aku bisa melihat kalau awalnya ia berpendapat aku ini manis juga. Namun pikiran itu langsung lenyap setelah ia mengingat kembali kata-kata yang kulontarkan padanya tadi sambil merinding. Kelihatannya ia tidak terbiasa bergaul dengan anak perempuan. Aku bisa melihat kalau ia juga sama kesepiannya seperti diriku.

Di saat begitu, tiba-tiba saja muncul setan yang menyerang Yoh. Cowok payah itu mengeluarkan ketiga shikigami miliknya dan berusaha menyerang dengan jurus lemah yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap setan itu. Setelah melihat serangannya gagal, Yoh pun lari terbirit-birit. Aku sudah nyaris keluar untuk menolongnya, ketika tiba-tiba Matamune sang nekomata muncul entah dari mana.

Tuan Yoh… Ternyata Tuan ada di sini.

Matamune!” seru Yoh, kaget bercampur lega.

Saya datang karena Tuan tidak kunjung tiba,” ujar roh berwujud kucing berekor dua yang sudah mengabdi kepada keluarga Asakura selama 1000 tahun itu.

Lalu dia ini apa? Setan…?!” tanya Yoh.

Ya, benar,” sahut Matamune tenang. “Terkadang dia muncul. Seiring dengan waktu, jiwa yang meyimpan dendam dan kebencian… akan semakin menguat dan terhimpun… dan akhirnya muncul sebagai sosok jahat. Itulah yang disebut dengan setan. Ini masih tergolong setan kecil, tapi saya tetap harus mengalahkannya.

Setelah berkata begitu, ia membuat oversoul pedang dengan pipa tembakau. Ia melompat ke arah setan itu sambil mengeluarkan jurusnya, “Chou Senji Ryakketsu… Fumon Goryou E!!!

Kemudian setan itu lenyap seketika.

Tentu saja, pada waktu itu, Yoh belum paham apa yang sebetulnya terjadi. Ia belum paham tentang roh yang bisa mengendalikan O.S…. Tentang jadi diri setan yang sebenarnya… Tentang calon istri dan tentang hal-hal lainnya.

***

Aku sengaja membiarkan mereka tiba duluan sehingga ia tidak tahu kalau diam-diam aku mengikutinya tadi. Aku bisa mendengar percakapan mereka saat memasuki rumah.

Ah, aku takut. Kupikir waktu itu aku benar-benar bakal dibunuh!” gumam Yoh.

Siapapun pasti akan terhanyut ke kota pinggiran di utara,” ujar Nyonya Kino. “Baik orang… maupun roh.

Nenek, maaf aku terlambat,” kata Yoh.

Tidak masalah. Justru aku yang membuatmu menunggu. Tapi, Yoh… Kamu sudah bertemu, kan? Dengan calon istrimu.

Tampaknya begitu. Gadis itu pasti calon istri Tuan Yoh,” tukas Matamune.

Nyonya Kino mendesah. “Gadis itu benar-benar menyusahkan. Kalau aku minta tolong padanya, dia pasti tidak kunjung pulang seperti sekarang. Padahal biasanya dia selalu mengurung diri di kamarnya.

Tampaknya Yoh mulai kebingungan. “Tunggu dulu, Nek! Jadi dia tidak pernah melihat fotoku?

Tidak,” sahut Nyonya Kino datar. “Aku memang memintanya menjadi calon istrimu, tapi aku tidak pernah cerita tentang dirimu.

Itu kan aneh! Habis tahu-tahu saja dia memakiku…!” seru Yoh dengan suara meninggi.

Aku merasa harus menginterupsi sebelum pembicaraan tentang diriku ini berjalan lebih jauh. Kubuka fusuma (pintu geser ala Jepang) dengan kasar sambil menjulurkan bungkusan berisi belanjaan. “Ini pesanan Nyonya,” kataku sambil menjatuhkan bungkusan tersebut ke atas lantai. Setelah itu pintu kututup kembali.

Tiba-tiba saja Yoh menjadi emosi dan berniat mengejarku. Ia hendak memastikan kalau aku benar-benar gadis yang dimaksud. Namun langkahnya dihentikan oleh Nyonya Kino.

Sudahlah. Kalau kamu mau mengejar dan mengomelinya, percuma.

Apa? Aku jauh-jauh datang ke Aomori demi hal ini, tapi masa’ dia bilang ‘mati’ dan ‘bunuh’ padaku tanpa alasan yang jelas?!” protes Yoh.

Bodoh!” hardik Nyonya Kino. “Kata-kata apapun takkan berarti bagi Itsuka.

Setelah itu, aku tidak mendengar kelanjutan pembicaraan mereka. Aku tidak peduli apapun yang Nyonya Kino katakan pada cucunya itu. Aku juga tidak peduli apa anggapan Yoh tentangku. Sejak awal, aku tidak menyetujui rencana perjodohan ini. Lagipula, mengapa harus aku? Masih banyak gadis lain yang lebih pantas menjadi istri penerus keluarga Asakura. Terlebih lagi, Nyonya Kinolah yang seharusnya paling mengerti tentang hal ini. Mengapa beliau justru memilihku?

Ini adalah Osorezan, salah satu dari tiga tempat roh besar yang terletak di Shimokita, bagian paling utara Pulau Honshu. Di sini terdapat pemandangan seram yang diselimuti dengan uap dan bau belerang yang tercipta karena aktivitas gunung berapi zaman dahulu. Di sebelah danau kawah pada ujung tempat ini, terdapat pantai pasir yang luas dan indah. Gunung itu dijuluki tempat awal di dunia fana… di mana orang-orang menemukan dan memikirkan makna kematian. Itulah gunung yang menghubungkan antara dunia ini dan dunia sana… Tempat tujuan akhir para roh yang kehilangan tempat tinggalnya. Tidakkah cerita ini menyesakkan nafas siapapun yang mendengarnya?

Aku hanyalah seorang anak yatim piatu yang dibuang oleh kedua orangtuaku karena terlahir dengan kekuatan aneh. Karena kekuatanku ini, aku dicampakkan dan karena dipungut di Osorezan, aku diberi nama Kyoyama Itsuka (kanji Kyoyama dan Osorezan sama). Aku tidak ingat banyak mengenai masa laluku. Yang aku tahu, Nyonya Kino yang merupakan seorang itako memutuskan untuk mengangkatku menjadi muridnya. Sejak saat itu, aku tinggal bersamanya. Nyonya Kino tidak pernah merenovasi penginapan reyotnya karena tidak memiliki dana. Kalau dilihat dari foto-foto lama, Nyonya Kino dulu adalah gadis yang cantik. Sepertinya perang telah merampas penglihatannya. Setelah itu, ia menjadi seorang itako yang diakui kekuatannya dan dinikahi keluarga Asakura.

Saat itu, aku belum tahu alasan di balik perjodohan itu. Aku baru mengetahuinya sesudahnya. Ternyata aku dipilih untuk mengemban sebuah tugas bagi penerus keluarga Asakura, yakni mengalahkan seseorang yang bernama Hao. Orang itu memiliki reishi (penglihatan roh) yang hebat. Itulah kemampuan untuk menguasai hati dan permasalahan orang lain… tanpa perlu melihat dan mendengar apapun. Semakin kuat seseorang, hatinya akan semakin terhanyut. Dendam dan kebenciannya yang dalam menggerogoti hatinya… dan akhirnya melahirkan setan. Di zaman setan yang tidak pantas disebut Zaman Heian (damai) itu, Hao melihat kegelapan yang ada di antara rakyat yang menderita dan perang kekuasaan antar bangsawan egois yang menyebabkan semua itu.

Sungguh tidak terbayangkan… Itulah alasan mengapa ia ingin menjadi Shaman King (orang yang menguasai roh terhebat di muka bumi ini, disebut juga Great Spirit). Namun menurut Nyonya Kino, itu bukanlah kebaikan hati, melainkan kelemahan hati. Pada Shaman Fight (pertempuran untuk menentukan siapa yang layak menjadi Shaman King) 500 tahun yang lalu, Matamune bersama Asakura Yohken sang shugenja mengalahkan Hao yang bereinkarnasi menjadi suku Patch, meskipun pada akhirnya tidak berhasil menjadi Shaman King.

Setelah 500 tahun berlalu, Hao terlahir kembali sebagai saudara kembar Yoh. Tentu saja pada saat itu Yoh belum mengetahui mengenai hal ini. Sebagai penerus keluarga Asakura, Yoh membutuhkan calon istri yang kuat agar dapat mengalahkan Hao. Aku yang entah mengapa memiliki kekuatan yang sama dengan orang itu kemudian ditunjuk untuk mengemban tugas tersebut.

Dari sinilah, perjuangan panjang Yoh dan kawan-kawan untuk mengalahkan Hao dimulai.

***

Hari itu, Yoh pergi ke kota untuk berbelanja oleh-oleh. Ia memasuki sebuah toko souvenir milik mantan jenderal angkatan darat. Aku sengaja mengikutinya karena ingin mencari kesempatan untuk bicara berdua saja dengannya. Menurutku, belum terlambat bila ia memutuskan untuk membatalkan perjodohan ini. Kupikir itu yang terbaik bagi kami berdua.

Apa yang kau pikirkan? Dasar mesum,” kataku begitu melihat pikiran Yoh dipenuhi oleh hal-hal yang tidak senonoh saat memandangi batang korek kuping berbentuk tubuh wanita yang dipajang di salah satu rak di sudut toko.

Hah?! Nggak, kok! Ini—!” Yoh yang terlihat kaget buru-buru membela diri.

Ah…” ucapku, baru mengerti. “Rupanya yang kau pikirkan… roh mesum di rumahmu. Mereka benar-benar kampungan, khususnya si musang. Rasanya aku ingin menghajar mereka!” Aku bisa melihat semuanya dengan jelas dalam kepala Yoh. Yang dimaksud adalah Ponchi dan Conchi, dua roh milik Tamao, murid Tuan Mikihisa, ayah Yoh.

Suasana hening selama sesaat lamanya. Wajah Yoh berubah kosong. “Kenapa kau… tahu hal itu?” tanyanya. “Tidak… bukan hanya itu. Kenapa kau juga tahu tentang diriku? Kau memanggil namaku meskipun tidak mengenal wajahku. Meskipun ada di rumah, wajahmu tidak berubah sedikit pun. Lagipula, setan itupun—!” Sepertinya ia mulai sedikit paham. Satu per satu hal yang menjadi pertanyaannya selama ini dikeluarkannya.

Tiba-tiba saja ia menerjang ke arahku dan mencengkeram kedua pundakku. “Apa maksud semua ini?! Sebenarnya kau ini siapa?!” Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “Jangan-jangan… kau yang menciptakan setan itu.

Saat itulah aku menamparnya.

PLAKK!

“…Sudah kubilang… jangan sok akrab denganku.

Aku bisa membaca dalam pikirannya kalau itu adalah pertama kalinya ia ditampar seseorang. Yoh yang tersadar dari keterkejutannya kemudian protes. “Sakit, tahu! Apa-apaan, sih?! Bukannya kamu yang mulai bicara duluan?!

Airmata yang hangat menggumpal di sudut mataku. “Kalau mendekatiku… kau akan bernasib sial,” kataku seraya menahan agar airmataku tidak mengalir. Aku tidak mau terlihat lemah di hadapannya.

Rasa bingung terlihat jelas di wajah Yoh. Setelah menghela nafas, akupun melanjutkan, “…Aku datang untuk mengucapkan salam perpisahan. Masih banyak orang yang bisa menjadi calon istrimu.” Saat berkata begitu, wajah Tamaolah yang terlintas di pikiranku. Menurutku, gadis itu pasti mampu menjadi calon istri yang baik bagi laki-laki di hadapanku, karena ia telah lama menjadi murid keluarga Asakura. “Kalau ingin bahagia… pulanglah ke Izumo sekarang juga. Selamat jalan,” tukasku sebelum beranjak pergi. “Terima kasih… telah datang kemari.

Itsuka…” Itulah pertama kalinya Yoh memanggil namaku. Kupikir dia akan menyerah sampai di situ, tapi ternyata dugaanku salah. “Tu, tunggu! Aku nggak ngerti! Aku sama sekali nggak ngerti! Tolong katakan dengan jelas… Sebenarnya kau ini siapa?!

Langkah kakiku terhenti. Namun aku tidak menoleh untuk menatapnya. “…Aku ini…

Saat itu, hitodama (bola roh) yang tak terhitung jumlahnya di sekelilingku mulai berkumpul dan menggumpal, membentuk sesosok setan. Yoh terjatuh seketika di tempat.

“Setan…!” serunya dengan suara yang menyerupai bisikan.

Aku mendesah. “Padahal… sudah kubilang supaya pergi.

Setan itu bergerak dan memecahkan jendela toko yang menghadap ke jalan. Pecahan kaca berhamburan ke mana-mana. Yoh berusaha melindungi diri. Namun yang menjadi sasaran setan itu memang dia. Setan itu terus menyerang Yoh, sementara cowok itu berusaha melarikan diri.

Aaah! Tolong!” serunya.

Aku menghela nafas. “…Aku selalu begini,” gumamku. Yoh menoleh ke arahku. “Kalau aku keluar, setan itu akan muncul. Lalu dia akan melakukan kejahatan dan akhirnya menghilang. Karena itu aku mengurung diri di kamar.

Apa?! Jadi setan itu muncul bukan atas kemauanmu?!” tukas Yoh. Di saat begitu, setan itu tiba-tiba saja menyerangnya. Yoh berusaha melindungi diri dengan tangannya, namun ia menabrak kaca dan jatuh terjungkal.

Sepertinya pada saat itu ia menyadari keanehan dari setan yang kuciptakan. Seharusnya roh tidak bisa menyerang benda, tapi setan itu telah memecahkan kaca etalase toko. Dengan kata lain, kebencian yang menyatu dengan pikiran akan berubah menjadi kekuatan yang persis seperti kutukan. Setan itupun berubah menjadi benda nyata. Namun Yoh tidak sepenuhnya memahami teori tersebut.

Seperti ada suatu ide yang terlintas di benaknya, ia tiba-tiba saja menyambar pedang yang dibawa oleh pemilik toko. Itu adalah katana sungguhan. Waktu itu, aku kaget melihat tindakannya yang begitu spontan. Mustahil melawan setan dengan pedang! Apa dia tidak takut pada setan? Mengapa ia tidak lari?

Larilah, Itsuka…!” serunya lantang dengan punggung menghadap ke arahku, seolah hendak melindungiku. Kedua tangannya memegang pedang, teracung ke depan. “Biar aku yang mengurus setan ini! Pergilah ke tempat Nenek dan panggil Matamune!” perintahnya.

Aku membeku selama sepersekian detik. Apa dia sudah gila? Pedang takkan berguna… Setan hanya bisa dikalahkan oleh setan. Kalau begini, dia hanya akan terluka.

CEPAT MENGHINDAR, YOH…!” seruku.

BUM!

Dalam sekejap, saat aku memanggil namanya, setan itupun kembali menjadi hitodama dan menghilang... Tapi justru yang paling kebingungan adalah aku sendiri yang tadi memanggilnya.

***

Malam itu tanggal 31 Desember 1995, malam tahun baru. Aku dan Yoh duduk bersama di ruang tengah untuk menyaksikan acara musik tahun baru. Aku tahu Nyonya Kino dan roh kucing itu memandangi kami sambil terperangah, tapi mereka tidak berkata apa-apa. Setelah itu, Nyonya Kino beralasan kalau ia mau masuk ofuro dan mengajak Matamune juga. Tinggallah aku berdua dengannya.

Aku tidak bisa berhenti memikirkan kejadian siang tadi. Hingga saat inipun, aku tidak mengerti apa yang sebetulnya telah terjadi. Tapi berduaan dengannya di ruangan yang sama membuatku merasa gelisah dan tidak nyaman.

…Aku hanya ingin melihat Ringo Awaya,” kataku.

…Aku hanya ingin melihat Bob,” tukas Yoh.

Kami tidak saling memandang satu sama lain. Ada jarak sekitar satu meter di antara kami. Baik Yoh maupun aku sama-sama memfokuskan pandangan kami ke layar TV. Sosok Bob, penyanyi berkulit hitam dari Barat, tampil di atas panggung dengan pakaian retro yang mencolok diiringi penari latarnya yang berpakaian tidak kalah aneh. Suara bass yang keras menjadi pembuka lagu.

Akulah Bob. Aku bermimpi di perempatan yang biasa kita lalui, kita menjadi cincin Saturnus. Dance! Hindari meteor dan jaga nafasmu. Yang kucintai bukanlah dirimu, melainkan Boblove. Kuberitahu sesuatu Boblove, inilah surga. Boblove memang hebat.

Kemudian terdengar tepuk tangan penonton yang meriah.

Lagu yang aneh,” ujarku mengomentari lagu yang baru saja kudengar.

Justru lagu favoritmu yang begitu,” tukas Yoh tak mau kalah.

Pada saat itu, sosok Ringo Awaya, penyanyi enka (lagu tradisional Jepang) favoritku, muncul di TV membawakan lagu berjudul ‘Ringo Urami Uta’.

Kelopak bunga apel berguguran pada siang bersalju. Cahaya mentari putih kemilau. Pilar es yang bersemayam di atap stasiun tak berpenghuni mengalir jatuh bersama airmataku. Aku tidak merasa perjalanan ini membuatku sedih, hanya saja aku membenci dirimu. Aku tidak ingin melihat wajahmu dan mendengar suaramu lagi. Tapi itupun aku tidak tahan, karena aku sangat membenci dirimu.

Ringo mengenakan kimono dan memainkan samisen (alat musik petik tradisional). Rambutnya ditata dalam sanggul yang rapi. Warna lipstiknya merah menyala dengan eye shadow berwarna gelap, tampak sangat kontras dengan kulitnya yang putih pucat, membuatnya terlihat mengerikan.

Ringo seram ya,” ujar Yoh.

Hanya penampilannya saja,” kataku. “Dia berpenampilan seseram itu untuk menyembunyikan kepengecutannya. Sebenarnya lagu itupun lagu yang lembut.

Yoh mengeluarkan desahan seperti suara tawa. “…Sama sepertimu, ya.

Aku menoleh sambil melotot ke arahnya.

Rasanya aku mengerti… karena banyak yang kualami setelah datang kemari. Pasti berat bagimu. Kamu bisa memahami… hati manusia, kan?

Aku terkejut karena ia akhirnya bisa menebaknya. “Kalau begitu sudah cukup. Kamu takkan senang jika bersamaku. Karena itu—

Aku takkan pulang,” sela Yoh. Aku merengut. “Aku suka hidup santai. Karena itu aku tidak bisa membiarkan dirimu yang tidak bisa santai.

Jangan berkata seolah-olah kau mau menolongku,” kataku.

Aku nggak bermaksud begitu, kok. Aku hanya ingin melakukannya. Makanya nggak usah dipikirkan.

Itu berarti kamu memang ingin menolongku!” tukasku gusar. “Gaya santaimu itu bukan urusanku. Aku benci semua orang. Makanya aku tidak ingin berhubungan dengan siapapun. Tapi kenapa kau malah ingin berhubungan denganku?!

Detik berikutnya, aku menyesal karena telah melontarkan pertanyaan itu. Aku bisa melihat jawabannya dengan jelas dalam pikirannya.

Yoh menggaruk-garuk kepalanya, salah tingkah. Wajahnya memerah. “Ya, kenapa ya… Itu… Pasti berat ya, bisa memahami hati orang.

Wajahku seketika memanas. “Menyebalkan!

PLAKK!

Itu kali kedua aku menamparnya hari itu. Setelah itu, aku langsung berlari menuju kamarku. Kututup pintu kamarku dengan kasar. Nafasku terengah-engah. Tangan kananku yang menamparnya terasa panas. Bukan hanya tanganku, tapi juga pipi dan sekujur tubuhku. Jantungku bahkan terasa berdebar lebih kencang dibanding biasanya.

Hei…” Terdengar suara di balik pintu kamarku. Rupanya ia mengikutiku. “Setelah acara lagu tadi berakhir, ada pergantian tahun, kan? Setelah acara itu selesai… Mau ke kuil sama-sama?

Aku terdiam.

Mungkin berat bagimu untuk melihat keramaian… Tapi ini kesempatan terbaik untuk memanjatkan doa. Lagipula, malam ini ulang tahunmu, kan?

Aku terkejut. “Da, dari mana kau tahu?” tanyaku.

Terdengar suara tawa yang rendah. “Bukan hanya kau saja yang tahu tentang diriku!

Mendengar ucapannya membuat jantungku berdebar kian keras, sampai-sampai aku takut jantungku akan copot dari tempatnya.

Konon kita bisa berdoa di depan dewa pada tahun baru,” lanjut Yoh. “Tapi bukan untuk memohon pada dewa, melainkan bersumpah demi diri sendiri. Apa yang ingin kita lakukan atau ingin jadi apa kita di tahun ini… Jadi kita berjanji pada dewa untuk mengatasi bagian terapuh dari hati kita tanpa terikat dengan siapapun.” Ia terdiam sejenak. “Kamu pun… ingin berbuat sesuatu pada kekuatanmu itu, kan?

Aku ragu-ragu sebelum menjawab. “Tapi… Aku…

Semuanya pasti beres,” kata Yoh, berusaha meyakinkanku. “Kalau di tengah keramaian kamu kesal dan setan itu muncul, saat itu kita akan kabur sama-sama. Meskipun tidak ada perubahan pada kekuatanmu, meskipun kamu sudah memohon, bagiku tidak masalah.

Saat itu, aku akan menjadi Shaman King dan berbuat sesuatu.

Itulah kali pertama dalam hidupnya, Yoh mengatakan kalau ia akan menjadi Shaman King. Bukan agar dapat menjadi raja dengan kekuatan dahsyat yang dimiliki Great Spirit, bukan juga untuk mengalahkan Hao sebagai penerus keluarga Asakura… Tapi untuk menolongku, gadis yang baru dia kenal selama beberapa hari saja. Selamanya, aku tidak akan pernah melupakan janji yang diucapkannya malam itu.

Sepertinya ia malu sendiri mendengar ucapannya itu. Terdengar suara tawa yang rendah lagi. “Aku jadi malu…” katanya. “Syukurlah kita bisa bicara lewat fusuma. Aku mau melihat pergantian tahun. Kamu juga jangan tidur. Aku akan menunggumu.

Aku bisa mendengar suara langkah kaki yang perlahan menjauh, kemudian tiba-tiba berhenti. “Oh ya, Itsuka,” ujarnya ragu-ragu. “Selamat ulang tahun!

Tanpa terasa, airmata yang hangat mengalir perlahan, membasahi pipiku.

Malam itu, kami pergi ke kuil untuk berdoa bersama-sama sekaligus melihat pergantian tahun. Dalam perjalanan pulang, di bawah sinar bulan yang remang-remang, aku mengecup pipinya. Aku adalah wanita pertama yang menamparnya, sekaligus juga orang pertama yang menciumnya. Hal itu terlihat dari ekspresinya yang tersipu-sipu, membuatku ikut merasa malu.

Selamanya, aku tidak akan pernah melewatkan malam ulang tahun terindah dalam hidupku.

Epilog

Lima tahun setelah itu, Yoh berhasil mengalahkan Hao dan menjadi Shaman King. Lima tahun kemudian, kami menikah. Tidak lama setelah itu, lahirlah Hana. Namun karena saat itu aku dan Yoh tidak bisa berada di sisi Hana, kami menitipkannya kepada Tamao. Selama bertahun-tahun lamanya, Hana mengira kalau Tamao adalah ibu kandungnya. Akhirnya hari reuni pun tiba. Ren, Horohoro, Manta, Chocolove, Lyserg, dan Ryu, yang masing-masing telah memiliki kehidupan sendiri (kecuali Ryu yang tinggal bersama kami) berkumpul kembali. Aku dan Yoh yang baru kembali dari melakukan perjalanan jauh akhirnya dapat bertemu kembali dengan Hana.

Waktu cepat sekali berlalu. Rasanya baru kemarin kami semua mengalahkan Hao. Sekarang kami sudah dewasa dan memiliki keluarga masing-masing. Aku senang dapat berkumpul lagi bersama Hana, tapi Yoh yang mengemban tugas barunya sebagai Shaman King seringkali diharuskan meninggalkan rumah dalam waktu yang lama. Seperti sekarang ini, di saat aku begitu merindukannya.

“Ayah keren, ya…!” ujar Hana dengan mata yang memancarkan kekaguman terhadap sosok Yoh.

Aku membelai kepalanya. “Tentu saja ayahmu keren! Ya sudah, mandi dulu sana…! Ibu akan menyuruh Bibi Tamao menyiapkan makan malam. Kau pasti sudah lapar, kan?”

“Iya!” sahut Hana. Kemudian ia terdiam. “Tapi, Bu, kapan Ayah akan pulang? Aku kangen, nih!”

Aku tersenyum. “Jangan khawatir. Ayahmu pasti akan kembali begitu sudah menyelesaikan tugasnya. Di manapun dia sekarang, Ibu percaya kalau dia juga memikirkan kita.”

Angin musim gugur bertiup semilir, menerbangkan daun momiji yang berwarna kemerahan, sama seperti langit yang berubah warna menjadi lembayung.

Yoh… Di manapun kau berada sekarang, aku akan selalu memikirkanmu. Cepatlah pulang!

Dia dibuang di jalanan.

Dalam kesedihannya, dia menjadi tidak bertanggung jawab

dan kehilangan semangat hidup.

Cinta adalah pertemuan, perpisahan,

dan potongan kain transparan.

[Osorezan Revoir]