Pages

Ketika Hukum Masih Mengingkari HAM

Kita semua tentu ingat kasus penistaan agama yang terjadi di Temanggung, Jawa Tengah, pada bulan Februari lalu. Kasus ini bermula dari ulah tersangka bernama Antonius Richmond Bawengan (50) yang menyebarkan buku-buku serta selebaran yang isinya memuat penistaan terhadap agama Islam dan Katolik di rumah-rumah warga di wilayah Temanggung. Adapun dua buku yang dimaksud masing-masing berjudul “Saudara Perlukan Sponsor!” (35 halaman) dan “Ya Tuhanku, Tertipu Aku!” (60 halaman). Setelah membaca kedua isi buku tersebut, sontak warga setempat yang mayoritas merupakan umat Muslim tersulut amarahnya.

Bagaimana tidak? Kedua buku yang tidak dilengkapi nama penulisnya itu memuat sumber kutipan ayat maupun surat yang ada dalam Kitab Injil dan Al-Quran. Namun penafsiran ayat Al-Quran dalam kedua buku ini dinilai subyektif dan manipulatif. Contohnya saja, pada halaman 10 buku “Saudara Perlukan Sponsor!”, pokok bahasan ketiga dengan judul Sponsor Allah, tertulis bahwa “Allah diperkenalkan oleh Muhammad, melalui dalil, tidak boleh dibantah. Dua kalimat syahadat yang menyatakan bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Tanpa bukti kekuasaan Allah. Muhammad tidak tercatat melakukan mujizat yang menjadi bukti kenabiannya (seperti Musa dan Yesus)”. Lebih lanjut, di halaman 22 dengan judul Siapa Sesungguhnya Allah? Terdapat kutipan yang menyatakan bahwa Allah serombongan dengan setan yang suka menipu dan sewatak orang kafir karena ajarannya dinilai kalah luhur dari hukum insani (manusiawi).

Sedangkan dalam buku “Ya Tuhanku, Tertipu Aku!” pada halaman 60 tertulis “Batu Hitam (Hajar Aswad). Betapa serius para calon haji mencium batu hitam yang dahulu kala jatuh dari langit (meteorit), demi sahnya titel haji yang mereka dambakan. Tidak mereka sadari bahwa cungkup batu hitam (berwarna putih perak), sesungguhnya simbol kelamin wanita. Di sebelah sana mereka melempari ‘jumrah’ ke arah menara (yang mereka percaya sedang melempari jin). Padahal bagi antropolog menara ini merupakan simbol kemaluan lelaki. Mengapa demikian?”

Sedangkan pada halaman 15 dengan judul ketujuh Umat Kristiani Tertipu Juga! tertulis “Janganlah anda menyeru Tuhan yang benar dengan ‘Allah’, yang jelas-jelas penipu”. Ditengarai judul Umat Kristiani Tertipu Juga! inilah yang memicu keberatan bagi umat Kristiani, karena di dalamnya tegas tertulis Allah.

Warga kemudian melaporkan hal ini kepada RT setempat, kemudian dilaporkan ke Polres Temanggung. Sidang telah digelar sebanyak tiga kali di Pengadilan Negeri Temanggung, yaitu pada tanggal 20 Januari, 27 Januari, dan 8 Februari. Sidang yang terakhir mengagendakan pembacaan tuntutan oleh jaksa. Pada saat sidang berlangsung, massa yang mengenakan atribut ormas tertentu telah terkonsentrasi di depan gedung pengadilan. Sementara itu, massa yang berada di luar gedung memaksa untuk masuk. Polisi sempat memberikan tembakan dua kali peringatan.

Kericuhan dimulai ketika Jaksa Siti Mahanim menuntut Antonius hukuman lima tahun penjara. Antonius dijerat Pasal 156 KUHP tentang penistaan agama. Saat Hakim Dwi Dayanto hendak mengetok palu, pengunjung sidang mengamuk. Mereka mendesak Antonius, warga Kebon Kopi, Duren Sawit, Jakarta Timur itu dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Massa yang ada di dalam ruangan sidang langsung menyerbu terdakwa, namun polisi dengan sigap segera mengamankan terdakwa dan majelis hakim. Antonius kemudian dibawa dengan kendaraan baracuda. Massa di luar gedung melakukan kerusuhan melempari gedung dengan batu.

Sekitar pukul 10.20 WIB, ratusan personel Brigade Mobil berhasil memaksa massa mundur hingga tercerai-berai. Ternyata, massa yang masih tersulut emosi, melampiaskan ketidakpuasan dengan merusak tiga buah gereja, yakni Gereja Bethel Indonesia, Gereja Pentakosta, dan Gereja Katholik Santo Petrus. Tindakan anarki ini tentu kemudian menimbulkan masalah baru dan memicu ketegangan dengan umat Kristen dan Katholik setempat.

Pertanyaannya adalah, mengapa gereja yang dijadikan sasaran amukan massa yang tidak puas dengan hukum di Indonesia? Apakah mereka mengambil tindakan demikian dikarenakan tersangka Antonius tercatat beragama Katholik dalam KTP-nya, lantas emosi massa dialihkan pada gereja-gereja setempat? Padahal dalam kenyataannya, umat Katholik sendiri pun merupakan korban penistaan agama yang dilakukan oleh tersangka. Hal ini ditegaskan oleh pernyataan Romo Aloysius Budi Purnomo, Ketua Komisi Hubungan Antar Agama Gereja Katolik yang bertugas di Semarang. Kasus yang menjerat Antonius ini, kata Romo Budi, bermula sekitar setahun lalu, yaitu di tahun 2010. Saat itu, Antonius yang memegang KTP Jakarta, datang ke Temanggung untuk mengunjungi rumah sanak saudaranya. Di Temanggung, dia malah terjerat hukum karena menyebarkan pamflet-pamflet dan buku yang isinya memprovokasi sekaligus melecehkan agama Khatolik maupun Islam.

Menurut keterangan Romo Budi, Antonius menyebarkan pamflet anti Bunda Maria. Hal tersebut merupakan pengingkaran terhadap iman Khatolik. Bunda Maria sendiri merupakan sosok yang sangat diagungkan dalam gereja Katholik.

Mungkin hanya segelintir orang yang mengetahui fakta bahwa sebenarnya Antonius Bawengan bukanlah pemeluk agama Katholik, melainkan salah satu pengikut Sekte Yehova. Sekte Yehova merupakan kelompok yang tidak menerima Yesus dan Maria, dan hanya mau menerima Yahweh. Berdasarkan penelusuran terhadap identitas Antonius, belakangan diketahui bahwa kelompok sekte Yehova ini juga sangat menolak ajaran Kristen, Khatolik dan ajaran Islam yang disebarkan oleh Muhammad SAW.

Saat pertama membuat keributan di Desa Temanggung, Antonius sempat diajak oleh salah seorang warga untuk bertemu dengan Ketua RT setempat beserta Dominggus Tomatua, tokoh gereja di Dusun Kenalan. Ini lantaran dalam KTP Antonius tertulis beragama Katholik. Di hadapan RT serta beberapa tokoh masyarakat, Antonius mengaku memang semula merupakan pemeluk agama Katholik. Namun, karena tidak puas dengan ajaran Injil, ia murtad.

Hal ini sekaligus mengingatkan kita akan kasus penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Umat Muslim di Indonesia menentang keras eksistensi aliran Ahmadiyah yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. Yang dijadikan dasar hukum adalah Pasal 156 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa di muka umum menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa penduduk negara Indonesia dihukum penjara selama-lamanya 5 tahun.”

Adapun pasal tersebut berasal dari UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang bunyinya “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu.”

Kedua peraturan ini seringkali dijadikan dasar tindakan anarkis yang dilakukan oleh golongan mayoritas terhadap golongan minoritas. Padahal bila dicermati lagi, pasal 28 E UUD 1945 (versi amandemen) sendiri mengatakan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” (ayat 1) dan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya” (ayat 2). Di sini terlihat adanya ketimpangan antara kedua hukum negara Indonesia tersebut. Di samping itu, pengabaian hak beragama ini juga merupakan pelanggaran terhadap konvensi PBB yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), Sebab agama merupakan bagian dari hak asasi setiap orang yang dimilikinya sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.

Namun apakah hal itu lantas berarti penegakkan HAM tiap individu tidak terbatas? Tidak juga. Bahkan penegakkan HAM pun ada batasnya. Bayangkan bila setiap orang di dunia ini menuntut pemenuhan atas hak asasinya secara egois tanpa memikirkan kepentingan orang lain! Tentu akan menjadi kacau, bukan?

Lantas apa penyelesaian bagi masalah ini? Semula hanya ada lima agama yang diakui di Indonesia, yakni Islam, Hindu, Buddha, Kristen Protestan dan Khatolik. Namun kemudian pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengesahkan adanya agama keenam yang kita kenal sebagai Konghucu. Apakah sekarang kita juga harus mengambil tindakan yang sama dengan mengesahkan Ahmadiyah dan aliran-aliran kepercayaan lainnya agar mendapat perlindungan hukum dan menghentikan konflik yang ada? Belum tentu itu solusinya.

Alasannya sederhana. Ilmu humaniora merupakan ilmu yang terus berkembang sesuai dengan berkembangnya peradaban manusia. Pemikiran manusia juga akan semakin berkembang dari waktu ke waktu. Demikian pula dengan pemahaman akan agama. Bila ajaran suatu agama dinilai tidak lagi relevan dengan kehidupan zaman sekarang, maka akan selalu muncul aliran-aliran kepercayaan baru yang entah bagaimana cenderung memiliki kemiripan dengan agama yang sudah ada atau bahkan mengadopsi sebagian dari ajaran agama tersebut dan menolak sisanya. Kalaupun nantinya ada 10 agama disahkan di Indonesia, pasti akan tetap muncul agama ke-11 yang tidak terima dan meminta pengakuan juga. Seperti mata rantai yang tidak ada ujungnya.

Hal ini membuktikkan bahwa hukum di negara kita masih ‘fleksibel’. Hukum yang ada saat ini belum cukup kuat untuk menciptakan ketertiban dan keadilan di negara kita. Terbukti, tindakan anarki yang dilakukan massa pasca pembacaan tuntutan atas kasus Antonius merupakan pelampiasan atas ketidakpuasan terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum kita tidak lagi didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam dasar negara kita, Pancasila. Selain itu, dalam kasus ini terlihat juga rendahnya pemahaman multikulturalisme dalam masyarakat kita.

Adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang tergabung dalam kelompok Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang mengajukan usul uji materi UU No. 1/PNPS/1965 jo UU No.5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama kepada Mahkamah Kontitusi beberapa waktu yang lalu. Dengan dalih mengatasnamakan keadilan dalam demokrasi beragama dan kepercayaan, mereka dengan lantang menyuarakan uji materi atau dengan kata kasarnya dicabut UU yang telah hidup selama 45 tahun itu. Undang-undang yang melindungi tata kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara.

Alasan dan alibi mereka memang seperti ahli hukum dan hak asasi manusia dengan menyatakan bahwa UU tersebut telah membatasi manusia dalam berkeyakinan yang dijamin konstitusi. Mereka antara lain mempersoalkan ketentuan dalam Pasal 1 UU tersebut dan menyebut UU tersebut potret ketidakadilan negara dalam mengatur rakyatnya untuk menganut agama selain agama/kepercayaan yang diakui pemerintah yang berjumlah enam.

Ada sebuah kasus yang sangat menarik perhatian penulis. Penulis menemukan sebuah video di situs internet Youtube yang berjudul “Pembakaran Al-Quran Dihalangi Kaum Kristen di Amerika!”. Video ini berisi kasus pembakaran Al-Quran yang hendak dilakukan oleh David Grisham, pemimpin kelompok Kristen radikal lokal di Taman Umum Amarillo City. Namun uniknya, tindakannya tersebut justru dihalangi oleh para anggota gereja “Unitarian Universalist Fellowship” Amarillo. Selain para aktivis gereja tersebut, datang pula warga setempat yang berdemo menentang tindakan David Grisham. Mereka semua merupakan penganut agama berbeda yang terdiri dari umat Kristen, Islam, Buddha, dan bahkan Atheis. Masing-masing memiliki ajaran dan kepercayaan yang berbeda, namun hari itu mereka datang dengan satu tujuan dan memiliki pendapat yang sama—hentikan pembakaran Al-Quran dan kita suci manapun. Para demonstran tersebut membawa spanduk yang di antaranya bertuliskan “Peace not ignore” dan “Love is the answer.” Muncul pula ‘tokoh pahlawan’ dalam kasus ini, Jacob Iscom, yang mengambil Al-Quran yang sudah direndam bensin dari atas tempat pembakar di taman sehingga David membatalkan aksinya.

Mencengangkan, bukan? Hal ini sangat berbeda dengan kenyataan di negara kita. Tampaknya kini sudah saatnya kita membenahi bangsa kita dan belajar dari Negeri Paman Sam itu.