Pages

Anime vs Kartun Amerika


Ini adalah salah satu tulisanku untuk laporan khusus buletin bulanan di sekolah. Karena kebetulan tema untuk bulan Mei adalah "All About Japan", jadi aku mendapat bagian menulis lapsus tentang perbandingan antara anime dan kartun Amerika. Enjoy!


Anime vs Kartun Amerika

Kartun telah menjadi salah satu tontonan favorit dan disiarkan oleh berbagai stasiun televisi, baik swasta maupun milik pemerintah. Ada stigma dalam masyarakat yang beranggapan bahwa kartun merupakan konsumsi anak-anak. Namun, benarkah pandangan tersebut?

Anime adalah animasi khas Jepang yang biasanya dicirikan melalui gambar-gambar berwarna-warni yang menampilkan tokoh-tokoh dalam berbagai macam lokasi dan cerita dan ditujukan pada beragam jenis penonton. Anime biasanya merupakan hasil adaptasi dari manga (komik khas Jepang) atau game.

Anime pertama yang mencapai kepopuleran yang luas adalah Astro Boy karya Ozamu Tezuka pada tahun 1963. Sekarang anime sudah lebih berkembang dibandingkan zaman dahulu, baik dari segi kualitas grafik yang ditampilkan maupun alur cerita yang lebih bervariasi dan menarik. Beberapa judul anime yang kini sedang digemari di antaranya Naruto, Bleach, One Piece, dll. Masyarakat Jepang, mulai dari anak-anak hingga dewasa, menganggap anime telah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Anime tidak hanya digemari di negara asalnya, melainkan juga di Indonesia dan berbagai belahan dunia lainnya.

Selain anime, kita juga mengenal jenis animasi lainnya, yaitu kartun Amerika. Kata “kartun” berasal dari bahasa Italia “cartone” dan Belanda “karton” yang berarti kertas yang kuat atau papan pengumuman. Kata “kartun” juga merujuk kepada berbagai ilustrasi, gambar, atau lukisan. Seiring dengan berjalannya waktu, terdapat pergeseran makna. Kartun kini identik dengan ilustrasi bergambar yang lucu dan film animasi. Beberapa kartun yang berasal dari negeri Paman Sam di antaranya adalah Mickey Mouse hasil produksi Walt Disney Production, Justice League dari Marvel Studios, dll.

Bila diperhatikan dengan seksama, terdapat banyak perbedaan di antara kedua jenis animasi ini. Dari segi gambar, anime dan kartun Amerika memiliki ciri khas tersendiri. Kartun Amerika biasanya menonjolkan sisi realis dalam karakter-karakter superhero-nya, misalkan saja, Superman. Bagian tubuh, otot-otot, serta mimik wajah Superman ditampilkan bak manusia kekar dengan kekuatan super. Sebaliknya, anime Jepang lebih mengusung gaya gambar chibi style alias imut atau lucu. Meski menampilkan sosok yang gagah, Naruto misalnya, bagian-bagian tubuh tidak digambarkan dengan detail dan realis. Namun, tetap proporsional dan enak dilihat.

Dari segi cerita pun, anime dan kartun Amerika memiliki beberapa perbedaan. Kartun Amerika, terutama hasil produksi Marvel Studios, lebih banyak menampilkan cerita bertema heroik. Sedangkan anime sudah mencakup genre yang lebih luas dan bervariasi, mulai dari kehidupan sekolah, fantasi, olahraga, hingga sejarah. Beberapa anime juga menonjolkan kebudayaan Jepang yang kental.

“Saya lebih menyukai anime, karena dapat ditonton oleh berbagai usia,” tukas Candy Supriady, siswi kelas X SMA Tunas Daud. “Kalau dari segi gambar, kartun Amerika tidak kalah dengan anime. Namun pada dasarnya saya memang lebih meyukai anime,” pungkas gadis yang menggemari anime The Law of Ueki ini. Jadi, yang mana pilihanmu? (eve)



Kisah Hidup Seorang Bekas Pengguna Narkoba

Ini adalah profil seorang bekas pengguna narkoba yang aku tulis saat mengikuti sebuah lomba mading beberapa waktu yang lalu. Profil ini kutulis di tempat (on the spot) setelah melakukan wawancara sebelumnya. Harapanku dengan memasukkan tulisanku ini ke dalam blog adalah agar kisah ini dapat menjadi inspirasi dan motivasi bagi banyak orang, agar jangan sampai mencoba menggunakan yang namanya narkoba.

Trintin Marliani

“Anak Jadi Motivator Saya”

Awalnya hanya karena rasa ingin tahu. Merasa tertantang oleh ajakan teman-temannya, Trintin Marliani yang pada saat itu baru berusia 18 tahun pun memasuki ‘dunia kelam’.

Pada saat pertama kali mencoba narkoba, Orin, sapaan akrab Trintin, belum menyadari bahaya yang akan ia hadapi. Awalnya, Orin dan teman-temannya hanya mengkonsumsi alkohol. Namun kebiasaan buruk tersebut meluas hingga ke penggunaan obat-obatan terlarang. Mulai dari jenis ekstasi, sabu-sabu, sampai cimeng pernah dicobanya, hingga yang terakhir kecanduan putaw.

Selama 15 tahun, hidup Orin berada di bawah bayang-bayang kematian. Obat-obatan yang dikonsumsinya telah merusak kehidupannya sebagai seorang pelajar. Setelah lulus SMA, Orin lebih memilih untuk bekerja ketimbang kuliah, sebab ia harus membiayai sekolah adik-adiknya. Pernah, suatu kali, Orin nyaris ketahuan menggunakan narkoba oleh orangtuanya. Orin kemudian kabur dari Bandung menuju Denpasar dengan alasan bekerja. Maraknya pengedaran narkoba di Denpasar membuat Orin semakin sulit melepaskan diri dari jeratan obat-obatan terlarang tersebut.

Pada awal 1998, Orin mencoba untuk berhenti mengkonsumsi narkoba, namun upayanya tersebut tidak semulus yang dibayangkan. Pada tahun 2003, Orin kembali terjerumus dalam jeratan obat terlarang tersebut. Akhirnya, pada tahun 2008, Orin baru benar- benar dapat berhenti mengkonsumsi narkoba. “Sekali pecandu tetap pecandu. Daripada dibilang ‘sembuh’, lebih tepat dikatakan ‘pulih’,” ujar wanita kelahiran Bandung, 25 Maret 34 tahun silam ini.

Menurut Orin, sekali terjerat narkoba, sulit untuk melepaskan diri. Beruntung, Orin memiliki orang-orang terdekat yang setia mendukungnya. “Anak saya yang menjadi motivator saya. Saat ini, saya tidak dapat tinggal bersama anak saya. Tetapi bila dia besar nanti, dia pasti akan membutuhkan saya. Saya tidak mau bila saat itu tiba, saya masih berstatus sebagai seorang pecandu. Karena itulah, saya ingin terbebas dari narkoba,” tutur ibu satu putra ini.

Saat ini, Orin aktif menjadi aktivis di Yayasan Dua Hati. Ia ingin membagikan pengalamannya kepada orang lain agar tidak terjerumus seperti dirinya. Ditanya soal pesan-pesannya kepada generasi muda, Orin dengan ringan menjawab, “Kalau mau mati, silakan mencoba. Tapi kalau mau happy, jauhi narkoba!” (eve)